pks-kotatangerang.org – Dunia tak kan kekurangan orang hebat yang punya pengaruh besar di setiap zaman. Juga di tubuh umat Islam. Pada puncaknya, Rasulullah saw mengatakan adanya satu sosok “mujaddid” atau pembaharu yang lahir tiap 100 tahun (tertera dalam hadits riwayat Abu Dawud). Sosok reformis itu tidak menonjol sendiri, tapi dia dikelilingi orang-orang hebat lain di zamannya, baik yang sepemikiran dengannya atau tidak.

Misalnya seperti yang terjadi di abad ke dua Hijriah. Para ulama sepakat bahwa sosok mujaddid di zaman itu adalah Al-Imam Muhammad bin Idris Asy-Syafi’i. Beliau adalah pendiri Mazhab Fiqh Syafii. Akan tetapi Imam Syafi’i bukan orang hebat sendirian di zamannya. Hidup pula di abad itu orang-orang besar lainnya yaitu Imam Malik, Imam Abu Hanifah, dan Imam Ahmad bin Hanbal. Mereka juga pendiri mazhab-mazhab fiqh besar di dunia. Belum lagi ulama-ulama lain yang ikut mendirikan mazhab sendiri hanya saja penyebarannya tak mampu saingi 4 mazhab fiqh populer di tengah umat Islam. 
Sekalipun begitu, Islam tidak menjadikan sosok hebat atau berpengaruh sebagai objek kultus. Islam tidak memerintahkan umatnya untuk mengandalkan diri pada orang besar.

Dalam tradisi keilmuan, taqlid buta dilarang oleh agama. Al-Qur’an membawa contoh umat Bani Israil yang taqlid buta pada pendeta-pendetanya yang berujung pada ketersesatan mereka. Atau penyembah berhala yang taqlid buta kepada tradisi yang dibangun leluhurnya yang berpengaruh. Memang tak semua orang bisa ber-ijtihad, tapi sebagian ulama enggan menyematkan istilah muqollid pada awam yang meminta fatwa kepad ulama. Mereka menyebutnya ittiba’, mengikuti fatwa ulama disertai kepahaman atas dalil.

Dalam kehidupan sosial, pengaruh orang-orang hebat itu tidak boleh dominan atas mekanisme berjamaah beserta perangkatnya seperti musyawarah dan taat. Artinya, bila ada orang berpengaruh yang tergabung dalam jamaah umat Islam, ia tetap harus tunduk pada keputusan syuro dan terikat untuk taat kepada mas’ul atau pemimpinnya. Terkecuali bila keputusan sang pemimpin berlawanan dengan syariat Islam, seperti pada fitnah “Khalqul Quran” yang mencobai Imam Ahmad.

Orang Hebat dalam Komunitas
Adalah alamiah, orang yang punya bakat besar dibutuhkan dalam sebuah kelompok. Sepak terjang mereka menjadi teladan. Wibawa mereka menjadi pembangkit semangat. Kadang mereka lah yang menjadi pemimpin dalam kelompok itu. Atau dengan pengaruhnya mereka menjadi simpul massa untuk mendirikan sebuah komunitas.

Dan alamiah pula kita lihat bahwa orang hebat yang tak bisa berjalan bersama komunitasnya, akan menjadi pengganjal jalan komunitas itu. Gregg Popovich, pelatih klub basket NBA San Antonio Spurs, pernah berkata begini: “No one is bigger than the team. If you can’t do things our way, you’re not getting time here and we don’t care who you are”. Baginya tak boleh ada pemain yang lebih besar dari sebuah tim. Sehebat apa pun pemain, ia harus lebur bersama tim, menyesuaikan gaya permainannya dengan tim, dan menanggalkan ego individunya. Dan sunnatullah itu berlaku untuk semua komunitas atau organisasi yang punya tujuan tertentu.

Termasuk dalam jamaah dakwah. Allah swt sudah menjadikan instrument syuro sebagai navigator bagi jalannya sebuah jamaah. Bukan kehendak perseorangan sekalipun ia berpengaruh. Perintah bermusyawarah turun kepada Rasulullah, orang berpengaruh nomor satu dalam umat ini (lihat QS Ali Imron: 159). Untuk urusan yang tidak diturunkan wahyu, Rasulullah harus menyurutkan pengaruhnya untuk melebur bersama para sahabat dalam musyawarah mencari mufakat. 
Dan kita lihat, keinginan Rasulullah saw agar bertahan di Madinah dalam perang uhud dikalahkan oleh keputusan musyawarah untuk menyambut musuh di sekitar gunung Uhud.
Islam mengerti bahwa manusia pada dasarnya punya kelemahan dan punya kecenderungan untuk terjatuh pada kesalahan. Individu yang mendominasi, bagaimanapun hebatnya ia, tetap punya celah berbuat salah. Maka celah itu ditutup dengan mekanisme hidup berjamaah, saling mengingatkan, dan bermusyawarah. Pada organisasi yang menggantungkan geraknya pada individu, ketika individu itu terjerumus dalam kesalahan, maka terjerumus pula satu organisasi itu.

Puncak kekaguman seorang kader dakwah harusnya kepada system Islam dalam mengatur jamaah. Bukan kepada kebesaran seseorang.Karena tiap orang punya konfliknya sendiri. Namun betapa banyak keputusan musyawarah yang mampu memberi jalan keluar atas sebuah pertikaian meski pahit. Sekagum-kagumnya pada seseorang, posisikan ia di bawah kumpulan manusia yang bermusyawarah. Karena “tangan Allah bersama jamaah” (HR Tirmidzi)

PKS dan Personal-Personal Hebat
Hal itu lah yang harus dicamkan oleh partai kader sekaliber PKS. Menisbatkan sebagai partai dakwah, maka PKS harus komitmen menjaga karakter dakwah, yaitu dikerjakan dengan amal jama’i. 
Syaikh Jum’ah Amin dalam Tsawabit wal Mutaghoyirot, dalam bab Kewajiban Beramal Jama’i menulis, “Jamaah, seperti yang saya katakana, adalah individu-individu dan system yang melahirkan umat untuk menganjurkan kebaikan dan melarang kemungkaran serta beriman kepada Allah.” Artinya yang namanya jamaah mestilah memiliki misi dakwah, dan dakwah dikerjakan secara amal jama’i.

Dalam jamaah harus ada ketaatan. Maka tiap kader PKS harus punya ketaatan terhadap hasil syuro dan terhadap pemimpinnya. Sejauh ini ketaatan menjadi nilai lebih yang ada pada partai ini dibanding partai lain. Dan itu yang menjadikannya terlihat solid. Tak susah mencari orang yang bisa diminta tolong untuk turun membantu di daerah bencana. Tak susah mengkoordinir saksi di tiap pemilu atau pilkada. Dan tak susah menyeru kadernya turun memenuhi jalan untuk menyuarakan keberpihakan pada Palestina.

Termasuk dalam suksesi kepemimpinan dari tingkat pusat sampai tingkat terkecil, partai ini relatif sepi dari berita perselisihan. Atau dalam penentuan calon anggota legislatif dan calon kepala daerah, kader-kader partai ini punya jiwa besar menerima keputusan musyawarah partainya.
Tapi sampai kapan ini bisa bertahan? Jawabannya adalah selama partai ini tidak terseret pada kultus individu. Selama orang-orang di partai ini mengerti posisi syuro terhadap individu, selama orang-orang di partai ini menggenggam ketaatan dan baik sangka kepada pihak berwenang, selama partai ini tidak disisipi ambisi dunia yang menggelayut di hati orang-orang berpengaruh di tubuh partai, maka partai ini akan bisa bertahan menjadi teladan dalam berorganisasi yang tertib.
Satu hal lagi yang tak boleh luput, tentang bagaimana mekanisme “perceraian” partai ini dengan satu anggotanya yang tak lagi sejalan. Partai ini harus menjaga “pintu keluar” yang tak rusak oleh amarah, dengki dan kebencian. Juga tak rusak oleh rasa putus asa telah kehilangan salah satu anggotanya.

Pintu keluar harus ada dan terpaksa ada karena tak selamanya orang-orang di dalam partai akan selalu sejalan. Tapi yang tak boleh ada, yaitu perasaan bahwa orang yang ada di balik pintu keluar itu lebih rendah derajatnya dari yang ada di dalam. Karena partai, sekalipun menisbatkan sebagai jamaah dakwah, bukanlah parameter pembeda antar individu di hadapan Allah swt. Karena itu mekanisme pemecatan, atau fenomena personal yang memilih keluar dari partai, harus dianggap wajar. Ingatlah ungkapan “kam minna laisa fiina wa kam fiina laisa minna”!

Selain itu pemecatan terhadap orang yang berpengaruh juga bukan kiamat bagi partai selama partai itu tetap menjaga prinsip jamaah. “Tangan Allah bersama jamaah” Zaman tidak akan kekurangan orang hebat. Begitu juga organisasi ini. Banyak ditemukan kader-kader yang punya potensi besar tergabung dalam partai ini. Insya Allah, patah tumbuh hilang berganti.

Zico Alviandri

Leave a comment

Your email address will not be published. Required fields are marked *