Sebuah Kumpulan Lirik yang Menceritakan Fenomena Kondisi Halaqah

 

cintadlmislam

 

 

Poro murobbi do ngelus dodo

mutarobbine ra podo teko

Pas di-SMS jarene isok

nanging pas liqo ra podo teko

Wayae liqo ijine syuro

Wayae syuro ijine liqo

Karepe piye yen koyo ngene

Mumet sirae loro atine

Murojaahee ra nambah-nambah

Mutaba’ahe ya tambah parah

Wayah materi ro ga gate’ne

Metu jajane melek matane

Aku rapopo aku rapopo

Sing butuh liqo yo kowe podo

Sing rugi kowe sing elek kowe

Aku rapopo aku rapopo

 

TEMBANG berasa dari Bahasa Jawa di atas bisa didapati di mana-mana. Belakangan ini, lirik-lirik tersebut tersebar di berbagai grup media sosial. Kira-kira artinya adalah (Para murabbi mengusap dada, mutarabbi (murid) banyak tidak hadir. Saat di SMS berkata hadir, tiba waktunya pada mangkir. Saat jadwal pertemuan (untuk mengaji, red) izin rapat, Saat rapat izin ada pertemuan (mengaji). Bagaimana bisa seperti ini, pusing kepala, sakit hatinya. Hafalannya tidak nambah-nambah, catatan ibadah tambah parah, saat mendengar materi tak memperhatikan, datang kue langsung melek matanya. Aku rapopo aku rapopo, yang butuh mengaji kalian semua, yang rugi juga kalian semua, aku rapopo aku rapopo..)

Sebuah kumpulan lirik yang menceritakan fenomena kondisi halaqah (sebagian menyebutnya liqa’ atau tarbiyah) saat ini. Di mana para murabbi (pembina halaqah) terkadang mengeluhkan sebagian mutarabbinya (anggota binaan halaqah).

Menurutnya, beberapa binaannya itu sudah mulai kendor semangatnya untuk ikut belajar di halaqah. Berbagai macam alasan lalu dimunculkan.

Mulai dari izin karena punya kesibukan hingga datang terlambat. Belum lagi jika sebagian binaan masih saja asyik bermain gadget sementara kegiatan halaqah masih berlangung atau evaluasi ibadah harian yang jarang terisi penuh alias bolong.

Kondisi demikian kadang memaksa para murabbi hanya bisa mengelus dada, prihatin akan kualitas kader dakwah yang tengah mereka bina. Layaknya sebuah pohon yang akarnya tidak menancap ke dalam tanah. Ia begitu rapuh meski terlihat menjulang tinggi ke atas.

Sebaliknya kondisi tak jauh berbeda juga tak jarang dirasakan oleh para mutarabbi. Mereka galau di tengah halaqah. Sebagian mutarabbi menganggap sang murabbi tak lebih dari orang asing di tengah mereka. Tak ada lagi kepercayaan kepada murabbi seperti yang dulu mereka rindukan.

Menengok realitas kegiatan berhalaqah saat ini, seolah ada yang berbeda jika dibandingkan dengan kondisi halaqah pada tahun 90-an. Ketika itu tampak para murabbi dan mutarabbbi saling berlomba datang di awal pertemuan. Meski terkadang jarak yang ditempuh lumayan jauh ke lokasi pertemuan.

Materi selalu disimak dengan antusias, sebanding dengan semangat murabbi menyampaikan nasihat dan ilmunya. Belum lagi mutaba’ah (evaluasi) harian yang kadang bikin murabbi kagum dengan gairah keislaman mereka. Termasuk di dalamnya ketaatan dalam koridor sami’na wa atha’na untuk dakwah dan kebaikan.

Kini, saat ilmu pengetahuan dengan mudah diperoleh. Materi bisa disajikan dengan metode yang makin menarik dan interaktif.

Komunikasi juga terasa kian simpel dan gampang. Justru, kualitas output dari halaqah tersebut tampak seolah meredup dibanding sebelumnya.

Muhammad Ahmad ar-Rasyid, menceritakan dalam muqaddimah karangannya, Manhajiyah at-Tarbiyah ad-Da’awiyah, kisah seorang muadzin (tukang adzan) di masjid Husain Basya, sebuah masjid tua di Baghdad. Dinding masjid itu sebagiannya sudah rapuh dan rontok. Atapnya juga banyak yang bocor. Namun jika Haji Ahmad, muadzin mengumandangkan suara adzan, orang-orang lalu berbondong mendatangi Masjid Husain Basya.

Haji Ahmad adalah orang yang berkecukupan. Tapi dia memilih tinggal di masjid Husain Basya, menempati sebuah kamar di rumah Allah tersebut. Sebanyak lima kali sehari, suara adzan Haji Ahmad mampu menggetarkan hati orang-orang yang mendengarnya dan melangkahkan kaki mereka ke masjid untuk shalat berjama’ah dan mengikuti kajian ilmu. Ar-Rasyid berkata, kami belum pernah mendengar seindah adzan yang dikumandangkan Haji Ahmad. Suara semerdu itu sulit untuk dilupakan dan kami menikmatinya. Ada jejak yang membekas tak hanya dirasakan oleh telinga tapi juga hati-hati kami menikmati hal tersebut.

Kisah di atas menjadi pengantar ar-Rasyid dalam tulisan selanjutnya. Bahwa ada beberapa hal yang penting di balik metode dakwah Islam agar selalu membekas di hati objek dakwah, audiens, atau binaan halaqah.

Pertama adalah ikhlas. jika halaqah tak lagi menjadi sesuatu yang menyenangkan, bersua dengan sesama ikhwah tak lagi dirindukan, maka evaluasi pertama adalah niat dan keikhlasan mereka. Boleh jadi ada hati yang ternoda untuk meleburkan diri dalam kegiatan dakwah.

Kedua totalitas (tamaam at-tajarrud). Dakwah membutuhkan totalitas diri dan hati. Jika masih ada keraguan dalam berdakwah, maka simpul ikatan antara murabbi dan binaannya terlalu mudah untuk berberai.

Ketiga, hubungan emosional yang baik (‘amqul infi’aal ma’al qodhiyyah). Murabbi bukan hanya sebatas transformer ilmu. Dia adalah sosok pembangun nilai dan karakter para kader. Dalam hal ini setiap murabbi dituntut memberikan keteladanan dalam segala aspek, baik ilmu ataupun amal perbuatan.

Keempat, berlepas dari motivasi duniawi (al-bara`ah min ajr dunyawi). Dakwah tidak menjanjikan harta, sanjungan ataupun kedudukan. Profesi sebagai da’i atau murabbi adalah profesi utama di atas profesi lainnya. Jika masih terbetik keinginan sesaat di atas, niscaya semua materi yang disampaikan hanya mampir di telinga murid-muridnya.

Terakhir, yang tak kalah pentingnya adalah saling mendoakan sesama saudara Muslim. Berharap kiranya semua saudara seiman bisa mendapatkan hidayah dan istiqamah dalam menekuni dakwah serta perjuangan ini. Dakwah adalah pekerjaan utama seorang Muslim. Sebagaimana sebaik-baik pekerjaan adalah mengajak kepada agama Allah dan Rasul-Nya. Ibarat muadzin haji Ahmad yang tak jemu mengajak orang-orang untuk bersungkur bersujud bersama di rumah Allah.

*/Sarah Zakiyah, ibu rumah tangga di Depok, Jawa Barat

Leave a comment

Your email address will not be published. Required fields are marked *