“Penjara”

13322087_1018203324939453_7748074440724832177_n

 

PENJARA

@salimafillah

Ketika berjumpa dan menatap wajah-wajah itu, saya merasa bahwa memang sudah bukan waktunya lagi bicara tentang apa yang membawa mereka ke tempat ini. Justru kita harus melihat apa yang mereka lakukan di sini dan seperti apa mereka menatap ke depan.

Dan benar, berada bersama orang-orang yang banyak beristighfar itu sangat menenteramkan. Dan benar, suasana terindah di bumi ini adalah suasana pertaubatan.

Mungkin itu pula yang dirasakan oleh seorang Mantan Kepala Desa yang dipanggil Pak Kuwu, yang jatah pidananya di Lembaga Pemasyarakatan Sukamiskin sebenarnya telah berakhir setahun yang lalu, tapi tetap memilih berada di sini untuk berkhidmat pada sosok yang amat dia kagumi, yang dia rasa telah menjadi perantara Allah membawakan cahaya bagi gelap dalam hidupnya. “Saya teh di sini dulu saja, sama Ustadz Lutpi.. Lebih damai.”

"Duhai Rabbi, penjara lebih aku sukai daripada mengikuti apa yang mereka ajakkan padaku ini.. " (QS Yusuf [12]: 33)

Pekan ini atas undangan Yunda Maimon Herawati dan rekan-rekan Indonesian Writers Academy, saya mengunjungi senarai tarhib ramadhan di Sukamiskin. Ajaib. Rupanya hari itu adalah pembuktian bahwa selama beberapa waktu penjara telah menjadi sebuah kelas tulis menulis yang sangat produktif. Pak Andi Mallarangeng, Pak Rudi Rubiandini, Pak Hotasi Nababan, Pak Didit Abdul Majid, dan begitu banyak rekan-rekan beliau yang lain telah keroyokan menerbitkan buku mereka sebagai catatan ‘orang yang berjarak dari kemerdekaan’. Catatan yang penuh ibrah dan hikmah dari para pelaku lakon kehidupan yang tak semua orang mencicipinya.

Di bawah saung-saung yang teduh yang dibangun di antara taman yang cantik, inisiatif sang narapidana pula, buku-buku bertajuk Sukamiskin’s Springboard, Hari-hari di Sukamiskin, Sajadah Subuh di Sukamiskin, serta Antara Narapidana, Ramadhan dan Al Quran dikupas dan dikaji dalam suasana kekeluargaan.

Allahu Akbar.

Ketika seorang da’i memasukinya, penjarapun berubah menjadi dakwah. Ketika seorang imam memasukinya, penjarapun menjadi shalat jama’ah. Ketika seorang murabbi memasukinya, penjarapun menjadi wasilah tarbiyah. Ketika seorang penulis memasukinya, penjarapun menjadi tempat dilahirkannya karya agung.

Ibnu Taimiyah punya Risalatul Hamawiyah, Sayyid Quthb punya Fi Zhilalil Quran, Hamka punya Tafsir Al Azhar.. Hingga di seberang sana, Pramoedya punya Tetralogi Buru, dan Adolf Hitler juga punya Mein Kampf.

Ya. Saya belajar. Ternyata dunia ini bukan soal di mana kita. Dunia adalah soal peran apa yang kita mainkan ke manapun takdir Allah menuzulkan jasad ini. Dan peran itulah yang kelak kita pertanggungjawabkan kepadaNya. Boleh jadi ia bekal. Atau beban. Kita disilakan untuk memilihnya.

Terimakasih wahai guru di segala keadaan, Luthfi Hasan Ishaaq

 

Leave a comment

Your email address will not be published. Required fields are marked *