Sabar dalam Dakwah

 

ilustrasi-orang-saling-berpegangan-tangan

 

Setelah sekian tahun ternyata saya tak pernah bisa untuk menjadi sempurna di jamaah ini. Jalan dakwah yang indah ini telah memberiku sebuah pelajaran penting betapa di tempat yang paling baik sekalipun sebagai hambanya yang lemah dan hina tak akan pernah luput untuk berbuat dosa dan khilaf. Allah sajalah yang maha sempurna. Inilah 10 bukti betapa lemah dan berdosanya saya di jamaah ini:

Lemahnya semangat tabayyun ketika menerima berita buruk.
Ketika menerima kabar baik tentang seorang ikhwah selalu ada rasa bangga dan senang. Tetapi ketika mendengar kabar buruk tentang ikhwah tesebut saya seolah langsung memberi stempel buruk kepada yang bersangkutan, padahal belum tentu benar. Mau tabayyun secara langsung ke orangnya rasanya juga risih. Malah lebih percaya pada si pembawa kabar burung bermulut ember. Kasian ikhwahnya yang ikut saya nikmati ‘daging’-nya. Astaghfirullah…

Menganggap para masyaikh, qiyadah, murobbi, naqib sebagai manusia istimewa.
Saya khawatir jika ini terus terjadi maka ketika suatu saat Allah menampakkan aib mereka maka saya tidak dapat mengendalikan syahwat emosional dan menganggap tidak ada lagi yang baik di jamaah ini sebab para ustadznya saya pada tidak beres apalagi yang di bawahnya. Astaghfirullah…

Merasa lebih mulia dari kaum ‘aammah.
Padahal mereka bisa jadi selalu diampuni oleh Allah karena ketidaktahuan atas kesalahannya. Bukankah menyembunyikan kebenaran yang seharusnya segera disampaikan kepada mereka juga adalah sebuah dosa. Justeru saya akan menjadi lebih buruk jika mengetahui sesuatu kemudian tidak melaksanakannya. Astaghfirullah…

Merasa lebih baik dari kelompok dakwah yang lain.
Sebenarnya yang saya pahami adalah bahwa pilihan jalan dakwah yang saya tempuh ini cukup ‘tepat’ bagi diri saya, tetapi kenapa sulit sekali bagi diri ini untuk menekan anggapan pribadi yang merasa lebih baik dari kelompok dakwah yang berbeda bahkan terkadang suka sekali memberi komentar negatif tentang mereka. Astaghfirullah…

Sering abai dan merasa tak berdaya berdakwah di lingkungan keluarga.
Puluhan bahkan ratusan barangkali orang-orang yang ter-rekrut ke jamaah ini melalui kerja-kerja jamaah. Padahal di antara mereka tidak ada sama sekali yang merupakan keluarga terdekat. Jikapun ada satu atau dua yang itupun barangkali bukan karena melalui ikhtiar saya. Padahal diri ini begitu berharap dapat memberi hadiah terbaik bagi orang-orang yang kita cintai itu (ayah, ibu, paman, bibi, adik, kakak, sepupu, dll), namun seolah saya tak berdaya dan sampai sekarang masih bingung apa kendalanya. Astaghfirullah…

Lebih menonjol sikap ingin dimengerti daripada sikap peka terhadap kesulitan orang lain.
Saya selalu ingin dimengerti bahwa saya orang sibuk, banyak amanah, anak saya banyak, anak saya masih kecil-kecil, pekerjaan kantor saya menumpuk, jadwal saya padat, saya ini orang penting, dan berbagai keadaan lainnya. Sementara tidak sedikit ikhwah lainnya yang kondisinya jauh lebih sulit dan jauh lebih sibuk dari diri saya tetapi mereka malu menonjolkannya karena takut tidak akan kebagian amanah di jamaah ini. Astaghfirullah…

Setengah hati dalam berbagi nikmat, sepenuh hati dalam berbagi duka.
Ketika hidup saya disinggahi oleh nikmat seolah hanya ingin menikmatinya sendiri dulu. Apalagi nikmat itu adalah sesuatu yang begitu kita impikan. Berbagi saat lagi punya mood saja. Kalaupun mau berbagi semangatnya setengah hati. Ibaratnya kalau punya 100, maka 1 bagian saja untuk orang lain. Itupun kalau ada yang meminta bantuan. Sudah begitu berharap kembali pula. Harapannya semoga Allah menggantinya menjadi 7 bagian seperti isi taujihnya Yusuf Mansur. Giliran dapat musibah, ehh… maunya semua orang tahu kalau saya lagi susah.

Terkadang semangat bicara mengalahkan semangat belajar dan bekerja.
Waktu lagi bahas agenda kerja dakwah hasrat bicara saya hampir tak bisa dibendung. Semua ide dan saran-saran saya tumpahkan hingga saya jadi pusat perhatian. Ngomong ngalor ngidul, nyuruh sana-sini, si A harusnya begini, si B harusnya begini dan begitu, si C bikin ini dan bikin itu. Lah! Saya sendiri ngapain? Konsepnya jempol, realisasinya tumpul. Kadang juga bicaranya tidak berbobot karena kurang mempelajari masalah. Saya berbicara hanya ingin dianggap aktif dalam syuro’, tapi tataran lapangannya nihil. Astaghfirullah…

Jika sudah bekerja justeru menganggap yang lain tidak bekerja.
Kalau sudah bekerja biasanya diam-diam saya sering memperhatikan mereka yang aktif bersama-sama saja kemudian mengidentifikasi siapa saja yang tidak kelihatan di lapangan. Yang tidak kelihatan langsung masuk black list. Padahal sering saya tidak sadari mereka yang tidak terlihat di tengah medan dakwah, pekerjaan dan tanggungjawab mereka jauh lebih berat, pengorbanan mereka juga penuhh resiko. Ada juga yang bekerja dalam senyap dan ada juga yang menyicil pekerjaan dan tanggungjawab mereka di sela-sela kesibukan mereka yang sangat padat.

Menganggap semua kerja dakwah dapat tergantikan dengan uang.
Dana, alasan klasik yang tidak pernah usang. Amanah tidak dijalankan karena dananya belum cair. Gerakan jadi lambat karena dananya tidak cukup. Kalau begitu saya yang adakan uangnya, kalian yang kerja. Akhirnya sistem dalam jamaah dakwah berjalan seperti berjalannya perusahaan. Prinsip yang mengatakan bahwa uang bukan segala-galanya, tetapi segala-galanya butuh uang, adagium ini sungguh hampir menyesatkan saya. Saya hampir menjadi hamba uang yang telah banyak memperbudak banyak orang itu. Terlalu menyederhanakan kerja-kerja dakwah dengan uang membuat saya menjadi seperti tuan besar di tengah-tengah anak buah. Saham dakwah hanya terukur dari materi semata, sementara mereka yang tidak memiliki materi lebih seperti tidak penting lagi. Perasaan senasib sepenanggungan, kekompakan, keakraban, keceriaan dalam kebersamaan, dan hubungan erat adalah nilai-nilai yang lahir dari fungsi dan kerja dakwah yang tak dapat tergantikan dengan uang.

Permohonan maafku untuk para qiyadah dakwah dan semua ikhwah atas ketidaksempurnaan ini.

from dakwahtuna

Redaktur: Deasy Lyna Tsuraya

Leave a comment

Your email address will not be published. Required fields are marked *